Buscar

Páginas

Kamu

Hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Berbunyi dengan teratur. Dan sesekali terdengar helaan nafas. Aku memperhatikannya. Dia sama sekali tak menggubrisku. Kusilangkan kedua tanganku di depan dada, dan bersandar. Kubuang pandanganku, kualihkan keluar jendela. Terlihat lampu lampu gedung tinggi, tampak kecil dan lucu. Seperti kunang kunang. Kulihat lampu lalu lintas berganti warna. Mataku berair. Perutku rasanya terpelintir, dadaku sesak. Sesuatu memuncak dalam diriku.
"Jadi...." suara itu bergetar, " ini akhirnya." lanjutnya. Kupalingkan wajahku, menatap dirinya. Tangannya meremas ujung bajunya. Kusut.
"Ya, sekarang kau bisa membenci aku." Mulutku terasa pahit mengucapkannya, kurasakan lagi perutku terpelintir dan jantungku seakan naik menuju kerongkongan. Ingin rasanya kutelan lagi kata kata itu. Bodoh.
Matanya menatapku, tepat ke kedua mataku. Aku menatap matanya. Aku tak akan menghindari tatapan ini. Mari kita bermain saling tatap. Pikirku.
Kurasakan perutku makin terpelintir dan mataku panas. Kupalingkan wajahku. Aku tak boleh menangis didepannya. Baiklah aku kalah.
"Tidakkah ini keterlaluan?" Serunya, suaranya terdengar keras. Tapi aku merasakan ada yang runtuh dalam suaranya. Keteguhannya.
Aku merasa bersalah. Sangat bersalah. Bukan ini yang aku inginkan.
"Ini akan menjadi lebih mudah jika kamu membenciku." Perkataan bodoh lagi yang kuucapkan. Ini bukan mauku. Sungguh. "Kau harusnya bisa menemukan wanita yang lebih baik dari aku." lanjutku.
"Baiklah..." ujarnya. Tatapannya tak bisa kuartikan, tapi ada satu yang jelas terbaca. Dia marah. "sesuai permintaanmu, aku akan mencari wanita lain. Dan kau, jangan pernah lagi hubungi aku ".
Tenggorokanku tercekat. Aku hanya mengatupkan bibirku rapat rapat. Dadaku sesak, sesuatu buncah dalam dadaku dan aku berusaha menelannya susah payah.

Mungkin

Kala itu senja belum datang
Masih menggantung diujung langit mendung
Angin masih lembut membelai
Dan kau menangkupkan tangan
Pada wajahku
Mewakilkan sejuta kecupan lara
Hanya sebentar
Beberapa detik
Kau singgahkan tanganmu lembut di pipiku
Kemudian lampau tergerus waktu
Detik berikutnya
Kau telah kembali menggenggam jemarinya
Kemudian kembali berpaling
Hanya sosok punggungmu yang kutatap dengan harap
Untuk detik yang kesekian
Aku sadar
Bahwa kau tak pernah melepas jemarinya
Selagi tanganmu menangkup wajahku
Kau tak pernah benar nyata
Dan aku terlalu berharap

Akar (part.4 "Kembali")

Akar

Tidakkah kau mengerti bahwa ini sulit?
Haruskah aku selalu mengatakannya
Setiap kali kau bertanya akan hal yang sama

Bisakah kita hentikan saja?
Sejenak ketika kau kembali ada
Semesta raga ini menandak bahagia

Tapi pikiran ini takut
Kembali kalut
Seakan kau tak akan ikut
Melarut dalam runut nadi paling urut

Akankah aku siap jika harus kembali melepas sang akar?

Akar ( part.3 "Marah")

Aku tak akan lagi bergantung padamu
Sang akar

Aku telah menghidupkan lagi
Jutaan sel kemunafikanku
Yang akan terus mengalir
Melalui pembuluh darahku
Membawa segala kemunafikan yang aku ciptakan sendiri

Akar (part.2 "Pergi")

Dear akar

Rengkuhmu sudah tak lagi ada
Aku berdiri, dan menangis tergagap
Tidakkah kau mengerti
Bahwa setiap nebula memori yang aku kandung
Melahirkan ratusan cacah rindu?

Akar,
Aku tahu kau berhak pergi

Akar

Kepadamu : Sang Akar


AKU CINTA KEPADAMU

malam ini

Bunyi riuh motor hanya terdengar samar di telinganya. Lagu yang ia dengarkan terus mengalun. Masih lagu yang sama, ia putar berkali kali sambil sesekali iya bersenandung mengikuti lagu. Mulutnya yang komat kamit tak terlihat akibat tertutup masker, dan matanya menerawang jalanan melalui lensa kacamata yang ia kenakan. Sesekali ia mendentum demtukan tangannya di kaca spion motornya.
Ia mengamati setiap sudut jalan, penerangan yang sederhana namun terlihat syahdu.

And I....I hate to see your heart break
I hate to see your eyes get darker as they close, but I've been there before

Motor itu terus melaju menelanjangi jalanan malam kota solo. Kecepatamnya tak lebih dari 40 km perjam. Ia sengaja melaju lebih lambat, ia ingin menikmati malam ini di jalanan solo lebih lama.
Keinginannya untuk pulang hanya sebanyak 10% dari keinginannya menikmati binar malam.

Di perempatan itu ia berhenti. Lampu berwana merah menyala terang. Tersenyum bahagia.
Pandangan di depannya, membuatnya tertarik arus memorinya beberapa minggu lalu. Saat ia masih tertawa seperti itu di jok belakang motornya. Tangannya dilingkarkan di pinggang lelaki itu. Tersenyum.
Tidak di kota ini, tidak di kota jogja. Baginya keduanya terlihat sama saja dalam kilasan balik yang sarat arti itu. Candaan dan tawa renyah yang saling terlempar.
Kemudian lampu hijau menyeretnya kembali ke masa sekarang. Dimasa dimana dia sedang terenyak akan pusaran arus masa lalu yang beberapa detik lalu terputar jelas bak potongan film lama yang amat singkat tapi berbekas.
Jalanan itu ia hapal betul.
Ia hampir sampai di rumahnya. Terlihat penjual mister burger yang sudah tak asing baginya. Kemudian melewati sederet penjual bunga, beberapa kios yang tutup dan orang yang berlalu lalang.
Tepat di gang itu ia berbelok.
Menyusuri lekuk gang itu, hingga tiba di pertigaan terakhir. 

And now, I'm home....

yang pertama

Clusss.....

Kau tau loncatan itu?
Seperti percikan kecil yang menggetarkan seluruh semesta raga
Percikan yang mampu menimbulkan badai kosmik raga manusia
Meninggalkan saklar yang mampu berpercik lagi kala sengatan kecil itu hadir
Sengatan yang sama
Percikan yang sama
Getaran yang sama
Badai kosmik yang sama
Sama seperti saat ia masih menjejak belia
Dimana pikirannya masih seranum bunga kapas
Satu emosi yang ia ingin tanyakan artinya
Namun kemudian ia sendiri yang menjawabnya
Entah sadar atau tidak
Dia sudah ikut larut dalam derasnya alunan listrik kecil itu
Entah sadar atau tidak
Dia mulai menikmati sengatan sengatan kecil itu
Membuatnya tertawa tanpa perlu alasan
Membuatnya menangis hanya dengan acuhan
Membuat hatinya jungkir balik tak karuan
Menimbulkan emosi tak stabil dalam setiap sel dirinya
Ia mulai meyakini bahwa hipotesanya mungkin benar

Ia JATUH CINTA

Gadis belia itu jatuh cinta
Untuk pertama kalinya dia tahu dia jatuh cinta
CINTA PERTAMA-nya


Untuk pertama kalinya setelah setengah dekade
Semua itu kembali...

beda

Aku tidak harus mengerti mengapa tawanya yang bahagia itu terlihat nanar di mataku
Bagiku dunia tampak berbeda pada setiap sudut pandang individu ber-sel banyak
Bukankah semuanya memang selalu tidak sama dan berbeda?
Apalagi melalu pikiran pikiran dangkal manusia yang terkadang hanya tumbuh seujung kuku pertahun atau mungkin kurang
Tidakkah itu akan menjadi suatu diskriminasi pikiran?
Memang sudah terjadi
Ada si pintar dan si bodoh
Lebih tepatnya klasifikasi yang tak kasat dan sarat akan kedangkalan pola pikir
Aku menulis begini adanya
Tentang apa yang aku pikirkan terhadap pola pikir manusia
Yang terkadang lebih picik dari yang mereka kira
Lebih arogan dari yang mereka sadari
Dan aku tertawa ketika menyadari hal itu
Betapa banyak sekali kemunafikan yang tersembunyi dari setiap senyum ataupun gurauan seorang sahabat
Aku bukan menentang pola pikir atau adat yang kalian percaya
Aku hanya menambahkan bagaimana pola pikirku ke dalam jeda dunia


(....) cinta

Aku mungkin hanya mengerti sebagian daripadamu
Tapi sebagian daripadamu itu mendidikku untuk tumbuh
Didikan yang bahkan kau ajarkan semenjak umurku masih sama dengan lekasnya pagi

Kau ajarkan, bagaimana dirimu dapat menciptakan egois
Egois yang dapat membuat luka manusia penikmatmu

Kau mengajariku lebih dari cukup
Memberiku nasehat
Bahwasanya dirimu terkadang hanya perlu untuk dijaga
Atau direlakan

Bahwasanya egois karenamu hanya akan menimbulkan luka tersendiri

Dan dengan melepaskan
Merelakanmu
Serta melepas segala ego yang melekat karenamu
Akan ada bahagia yang menjemputmu

KOPI

Kopi...

Nggak banyak orang yang suka kopi
Nggak banyak juga cowok suka kopi
Apalagi kopi item
Mungkin kalo kopi biasa masih pada doyan
Tapi kalo namanya kopi item, pasti banyak yg ga suka

Gue suka kopi item
Bagi gue, kopi item itu pembelajaran
Pembelajaran buat hidup gue
Karena pas gue ngerasa down banget dan mood berantakan kopi item itu ibarat hidayah
"WOY, masi paitan gue daripada idup elo" gitu kata die (kopi item)
Ya gue mikir bener juga
Lo kudu nyoba kopi item tanpa gula, bakal ada rasa pait sama sepet
Nah terus tambahin gula deh, masi krasa paitnya dan sepetnya nambah
Di dalam kopi yg ada gula juga masi krasa pait sama sepet
Istilah nih kalo diibaratin hidup, udah dikasih seneng, tapi lo didalemnya masi ada rasa sedih dan rasa galau galau ga jelas lainnya.
Menurut lo itu bersyukur ga?

Selain itu, kopi item itu punya sensasi di mulut...
Lanjut lain kali ya gue ceritanya..

surat cinta

Surat cinta


Aku mengabarkan segala prasangka lewan bualan angan
Tidakkah itu menggelikan
Hal yang seharusnya aku ucapkan
Hanya bisa aku lalukan lewat sebuah basa basi

Apakah kau berfikir ini surat cinta?
Ya...aku berfikir demikian
Karena demikianlah adanya
Bukan  kau yang salah mengartikan
Hanya aku yang tak pandai menulis surat untukmu

Buruk?
Aku pikir sangat

Kau tau mengapa aku menulis ini?
Karena aku tau
Bahwa surat ini tak akan kau baca



Bahwa kenyataannya memang iya :)

Kau tak akan baca...







To: Ahmad Ade Kurniawan

jeda

Jadi bagaimana rentang ini membunuh kita
Hanya dengan angan bahwa jarak menjadi pisaunya
Bahwa mimpi mungkin menjadi belatinya

Seketika karma tertawa
Menandak bahagia
Meleceh dan mencela
Tergelak oleh kita
Yang dulu pernah mencela jarak dan jeda

Semakin tak jengah
Ketika nukleus nukleus rindu
Hanya mengalir lewat nadi nadi dunia maya

Persetan dengan semua arteri jarak
Bahwa mengilhami jeda tak semudah aku bernafas

pukul 9

Aku masih menginginkan kata itu
Membidik..
Ada dalam tulisanku
Seperti halnya sore yang terlalu lekas
Menjadi pukul sembilan
Tebak saja sendiri
Bagaimana kesinambungan itu terjadi
Karena aku hanya menulis..
Ah.. bukan
Aku hanya meracau
Bukti kekalutan pikiran manusia yang nyata
Kenyalangan mata yang terlalu kentara
Sembari memikirkan banyaknya huruf dan kata
Yang aku sendiri tak tau bagaimana makna itu sebenarnya lahir
Atau dari janin ia mana berasal
Mungkin Tuhan tau
Ah tidak...
Dia tidak akan memberi tahu
Harusnya kuhitung saja semua
Kemudian mengepulkan dan berdiri
Dan tertawa lantang
Layaknya anjing gila mendapat tulang
Akankah itu menjadi tabu?



Teh dan segelas ampyang kacang
@hellobaiq

Kamu

Tanganku kembali dan tak lagi segan
Merengkuh segala peluh yang kau cambukkan
Pada raga yang tak kunjung meluruh

Aku melihatnya seperti sebuah benteng sesal yang kau genapi dengan angkuh
Mungkin menafsirkan cacat yang tak kasat
Hanya berisi kepulan abjad doa
Merapalnya sendiri dan membetisnya hingga tak lagi dapat runtuh

Aku mengartikannya sebagai nebula kehidupanmu
Yang tak kunjung baik meski getir asa tak lagi hinggap

Mungkin diantara jutaan akal
Ada tawa yang hilang dan terselip mati
Sampai ia sendiri melupa
Bahwa pernah ada tawa yang ia kehendaki

Ada

Selagi aku mengetuk buku jari keheningan
Segala laras budi ini harus tidur berangan
Dipadatkan belikat tanpa ingkaran
Goresan yang tak kunjung luruh, tapi berbalut alasan
Bersolek di depan nisan yang tak rupawan
Alangkah baik dia tak berelegi, hanya alasan
Sedikit lagi aku mati, tapi sendirinya janin surgawi luruh berantakan

Rapalan Abjad dan Waktu

Sesaat aku berhenti merapal kepungan abjad
Menarik seluruh elegi diantara bibir yang berkutat tak merapat
Disaksikan dia yang tak menyuara
Dia yang berulang kali ingin kubunuh untuk kembali ke rotasi yang sama

Aku melanjutkan
E..F..G...H..I
Dan berhenti lagi
Melihat dia yang tak jengah menunggu
Haruskah ini berjajar serapi naluri yang tak bernyali ?

Aku tak ingin melanjutkan
Hafalan itu limbung berantakan
Dan serapah tercecer berserakan

Aku tak tau pasti kapan dia akan berhenti
Sedangkan umurnya tak pernah lagi sama
Harusnya dia berhenti
Merengkuh raga yang tergerus olehnya


Elegi

Aku masih menyimpan segala yang kau anggap usai dan tak ada
Selagi raga yang hanya mampu mengecap tanpa menyuara
Mengandung janin janin keputus asaan, dan melahirkan sejumlah tanya

Aku masih ingat bagaimana ragamu luruh memelukku
Mencium setiap nukleus luka yang lama tak berlalu
Mencumbu hangat setiap kepulan dosa tanpa ragu

Dan aku masih tak mengerti
Bagaimana waktu begitu keji
Hingga aku harus menelan segumpal kenangan itu sendiri
Sedangkan kau menang dengan tawamu berdiri

Mungkin peluh egomu tak luruh
Masih menggantung di saku senja yang gemuruh
Dan aku yang masih saja tak teduh
Kebodohan untuk menunggumu kembali merengkuh


@hellobaiq :)

Secangkir Teh

Dihadapannya,
tawaku buncah,celotehku terhambur
tangisku tersimpan rapat
dia hanya menatapku dengan diam
membiaskan rasa hangatnya
menjalarkan rasa manisnya
meresuspensikan setiap aromanya

Dia menatapku,
masih dalam kebekuan sunyi
hanya suara jemari yang lincah menari
sesekali menyusuri setiap bagiannya
untuk merapatkan hangat di setiap lekukan kulit
bibirku menyentuh bibirnya
menyesap setiap kekalutan pikiran

Dia tersenyum,
aku berterimakasih
dia inspirasiku malam ini






rabu malam,dan secangkir teh.