Tanganku kembali dan tak lagi segan
Merengkuh segala peluh yang kau cambukkan
Pada raga yang tak kunjung meluruh
Aku melihatnya seperti sebuah benteng sesal yang kau genapi dengan angkuh
Mungkin menafsirkan cacat yang tak kasat
Hanya berisi kepulan abjad doa
Merapalnya sendiri dan membetisnya hingga tak lagi dapat runtuh
Aku mengartikannya sebagai nebula kehidupanmu
Yang tak kunjung baik meski getir asa tak lagi hinggap
Mungkin diantara jutaan akal
Ada tawa yang hilang dan terselip mati
Sampai ia sendiri melupa
Bahwa pernah ada tawa yang ia kehendaki
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar